Tugas Terstruktur 06
Naurah Salsabila
(46125010145)
Keadilan dalam Bayang-Bayang Kekuasaan: Analisis Kasus
Pelanggaran HAM Berat
Abstrak
Artikel ini adalah narasi
reflektif mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai dasar portofolio sikap.
Dengan menganalisis kasus pelanggaran HAM berat, penulis
menganalisis bagaimana kekuasaan sering kali menghambat keadilan,
menggunakan contoh seperti genosida di Rwanda dan pelanggaran di Myanmar.
Refleksi ini menyoroti pentingnya kesadaran bersama guna mencegah
pelanggaran HAM, dengan berfokus pada pendidikan dan advokasi
internasional. Tulisan ini merujuk pada prinsip-prinsip HAM yang bersifat
universal serta sumber tambahan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Kata Kunci
Hak Asasi Manusia, Pelanggaran
HAM Berat, Kekuasaan, Keadilan, Genosida, Advokasi HAM.
Pendahuluan
Sebagai individu yang berada di
zaman globalisasi, saya kerap merenungkan betapa rentannya Hak Asasi Manusia
(HAM) saat berhadapan dengan kekuasaan. HAM, merupakan hak-hak fundamental yang
dimiliki setiap orang, seperti hak hidup, kebebasan, dan keadilan, yang diakui
secara global lewat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun
1948. Namun, dalam realitasnya, kekuasaan—baik dari pemerintah, perusahaan,
maupun kelompok bersenjata sering kali menutupi keadilan, menciptakan situasi
di mana pelanggaran hak asasi manusia serius terjadi tanpa sanksi yang setimpal.
Artikel ini merupakan renungan
pribadi saya mengenai HAM sebagai dasar portofolio sikap. Mengenai topik ini,
dengan menyaksikan berita tentang konflik global yang mendorong saya untuk
bertanya: Apakah keadilan benar-benar dapat terwujud di bawah pengaruh
kekuasaan? Dengan menganalisis kasus pelanggaran HAM berat, saya berharap dapat
meningkatkan kesadaran dan sikap positif terhadap masalah ini. Pendekatan ini
berlandaskan pada pengertian bahwa HAM bukan hanya sebatas teori, melainkan
sebuah seruan untuk bertindak.
Permasalahan
Permasalahan utama yang saya
identifikasi adalah bagaimana kekuasaan struktural dan politik sering kali
memfasilitasi atau menutupi pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat,
menurut definisi PBB, mencakup genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang, yang melibatkan pembunuhan massal, penyiksaan, dan pengusiran paksa.
Masalahnya terletak pada ketidakseimbangan kekuasaan: negara-negara kuat atau
pemimpin otoriter dapat menghindari akuntabilitas internasional, sementara
korban sering kali tidak memiliki suara.
Dalam konteks ini, saya merasa khawatir mengenai cara kekuatan ekonomi dan politik global memperburuk keadaan. Sebagai contoh, intervensi luar negeri yang didorong oleh kepentingan geopolitik sering kali mengesampingkan HAM, seperti dalam situasi invasi atau dukungan terhadap pemerintahan yang melanggar hak warganya. Refleksi saya menunjukkan bahwa permasalahan ini bukan sekadar tentang kekerasan fisik, melainkan juga tentang normalisasi ketidakadilan, di mana
masyarakat menjadi apatis akibat ketakutan atau ketidaktahuan
Pembahasan
Dalam menganalisis isu ini, saya
memilih dua contoh pelanggaran HAM serius yang menggambarkan bagaimana
kekuasaan menghalangi keadilan: genosida di Rwanda pada tahun 1994 dan
pelanggaran yang terus berlanjut di Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Pertama, pembantaian di Rwanda. Antara
April dan Juli 1994, sekitar 800.000 orang Tutsi serta Hutu moderat tewas dalam
periode 100 hari akibat serangan kelompok ekstremis Hutu yang didukung oleh
pemerintah saat itu. Kekuasaan di sini muncul dari siaran radio yang
menimbulkan kebencian etnis, serta ketidakmampuan PBB untuk bertindak cepat
akibat kepentingan politik negara-negara Barat yang ragu-ragu untuk terlibat.
Berdasarkan laporan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1999), kegagalan ini
menunjukkan cara kekuasaan global dapat memungkinkan kejahatan terjadi.
Renungan saya: Sebagai seseorang, saya merasa berdosa karena komunitas
internasional, termasuk negara-negara berpengaruh, menetapkan untuk tidak
mengambil tindakan, menjadikan keadilan sebagai tumbal kekuatan geopolitik.
Kedua, pelanggaran hak di
Myanmar. Sejak tahun 2017, angkatan bersenjata Myanmar telah melancarkan
kampanye kekerasan terhadap suku Rohingya, yang mencakup pembunuhan,
pemerkosaan, dan pembakaran desa, yang oleh PBB diakui sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan (Dewan Hak Asasi Manusia PBB, 2018). Kekuatan militer yang
kuat, dibantu oleh ekonomi negara, menutupi pelanggaran ini melalui penyensoran
informasi dan isolasi global. Negara-negara seperti China dan Rusia sering kali
menolak resolusi PBB, melindungi kepentingan ekonomi mereka. Refleksi pribadi:
Ini membuat saya merenungkan tentang kewajiban kita sebagai anggota dunia.
Apakah kita sudah cukup dengan hanya membaca berita, atau perlu berpartisipasi
dalam advokasi?
Dalam kedua situasi, kekuasaan
membentuk bayangan di mana keadilan sukar diraih. HAM bersifat universal,
tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa pelaksanaannya bergantung pada niat
politik. Saya memahami bahwa pelanggaran ini tidak terjadi dalam kondisi
terpisah; mereka didorong oleh ketidaksetaraan kekuasaan, seperti akses media
yang terbatas atau korupsi dalam sistem hukum. Refleksi ini mendorong saya
untuk memiliki sikap kritis: HAM bukan hak khusus, tetapi tanggung jawab
kolektif untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulannya, analisis kasus
ini mengungkapkan bahwa keadilan HAM sering kali terperangkap dalam
bayang-bayang kekuasaan, di mana pelanggaran berat seperti genosida dan
kejahatan kemanusiaan dapat terjadi tanpa mendapat konsekuensi yang setimpalbagi
pelakunya. Refleksi saya menegaskan bahwa sebagai individu, kita harus menumbuhkan
sikap empati dan aksi, bukan hanya sekedar pengetahuan. Kekuasaan yang tidak
terkendali adalah musuh utama HAM, dan hanya melalui kesadaran kolektif kita
dapat mencegahnya.
Saran saya, tingkatkan pendidikan
HAM di sekolah atau di universita, untuk membangun generasi yang sadar akan
pentingnya HAM. Mendukung organisasi internasional seperti Amnesty
International dalam advokasi pelanggaran HAM. Manfaatkan dan gunakan media
sosial untuk mengangkat suara korban. Dengan langkah ini, kita dapat membawa
keadilan keluar dari bayang-bayang kekuasaan.
Daftar Pustaka
Donnelly, J. (2007). International
Human Rights (3rd ed.). Boulder, CO: Westview Press.
United Nations. (1948). Universal
Declaration of Human Rights. New York: United Nations.
United Nations. (1999). Report
of the Independent Inquiry into the Actions of the United Nations during the
1994 Genocide in Rwanda. New York: United Nations.
United Nations Human Rights Council.
(2018). Report of the Independent International Fact-Finding Mission on
Myanmar. Geneva: United Nations.
Comments
Post a Comment